Rabu, 29 Januari 2014

Akibat panen sarang walet secara serakah


Dalam hidup di dunia ini pasti akan berlaku hukum sebab akibat. Jika anda berlaku baik maka akan menuai kebaikan. Jika anda berlaku buruk maka akan menuai penyesalan. Kita pernah mendengar istilah hukum karma. Ini dimaksudkan bahwa dalam kehidupan ini ada hukum pembalasan, akibat dari apa yang kita lakukan sebelumnya. 

Beberapa teman saya ikut mengelus dada saat mengetahui, bahwa karya tulis saya berupa  buku-buku yang beredar di Indonesia, ternyata kedapatan  dibajak di Malaysia. Begitu juga rekaman suara walet yang saya jual,  ternyata banyak di copy, lalu dijual lagi tanpa ada ijin. Celakanya,  produk suara walet tersebut, sudah tidak  original lagi, sebab sudah disisipi suara lain yang justru akan membuat walet lari.   

Karena perbuatan itu merugikan orang lain, lambat atau cepat pasti pelakunya akan ditimpa karma. Bentuk karmanya apa,  saya tidak tahu. Tapi hukum karma  pasti berlaku. Pasti berlaku menimpa pelaku. 

Hukum kausalitas ini juga berlaku dalam budidaya walet. Pada kasus ini, akibat dari perlakuan panen sarang walet secara serakah,  di kemudian hari, akan timbul masalah yang tidak diinginkan, yakni problem yang merugikan pemilik gedung tersebut. Awalnya sich… pemilik tidak merasakan akibatnya, sebab di awal rasanya manis…namun belakangan, muncul penyesalan… rasanya menjadi pahit. 

Minggu lalu saya mendapat telepon keluh kesah dari beberapa teman yang gedung waletnya di lokasi  sentra walet di Kalimantan. Yakni di Ketapang-Kalimantan Barat,  di Samuda-Sampit, dan di Pagatan - Kalimantan Tengah. Inti keluh kesah yakni belakangan ini, mulai dirasakan penurunan produksi sarang walet. Tiap bulan produksi sarang di gedung teman ini terus menyusut. Padahal pada gedung walet tetangga, produksi sarangnya justru meningkat. 

Apa sebab terjadi penurunan produksi? Apakah karena kalah dalam perang suara? Bukan ! Apakah karena kalah tinggi  dan kalah posisi gedung? Bukan ! Apakah karena persaingan sudah sangat ketat? Juga bukan, sebab gedung lain di lokasi tersebut ternyata tidak mengalami masalah penyusutan produksi. Lalu apa masalahnya?    Masalahnya adalah sebagai akibat pola panen yang serakah, yang telah dilakukan sekian tahun yang lalu.

Saya tidak perlu menyebut nama teman di Ketapang, di Samuda maupun di Pagatan.   Mereka mengakui bahwa   sejak 5 tahun lalu  melakukan pola panen rampasan dan panen buang telur. Tiap  bulan mereka  lakukan itu. Hasil panen semacam ini  memang mendapatkan warna sarang yang putih bersih, dan harganya relatif tinggi. 

Beberapa tahun yang lalu saya sempat berdialog   :

+“Kenapa melakukan  panen dengan sistem panen rampasan?”

-“ Karena jumlah panen yang saya peroleh lebih banyak,   harga lumayan tinggi,  sebab sarangnya putih bersih”.

+“Kenapa melakukan panen buang telur?”

-“ Tepatnya panen jual telur. Di Jawa saya punya langganan yang menampung telur walet.”

+Tapi kenapa juga panen buang piyik?

-“Piyik walet tak saya buang, melainkan untuk pakan ternak ikan lele. Ikan lelenya jadi cepat gemuk”.

+“Kenapa tidak panen tetasan saja?” 

-“Saya tak perlu panen tetasan, sebab nanti walet-walet muda akan menempati gedung tetangga. Biar orang lain tak punya walet.. ha ha ha…”

+Bukankah  waletnya lama-lama bisa stress, bisa pindah ke gedung lain?”

-“Ah, nggak juga. Buktinya sampai sekarang walet di gedung saya aman-aman saja. Sampai sekarang hasil panen justru tambah banyak”.


Di benak kepala teman tadi, mungkin dipenuhi kalimat-kalimat keserakahan. “Biar hanya saya saja yang kaya raya dengan sarang walet, tetangga tak perlu ikut-ikutan.” 
“Jangan sampai  gedung  tetangga dihuni walet dari anak walet yang lahir dari gedung saya. …” 

Menurutnya, populasi walet bisa dimonopoli dan populasi walet di gedungnya boleh terus untuk di-eksploitasi. Tiap induk walet selesai bikin sarang, belum sempat bertelur, sarang sudah dipanen. Jika induk walet terlanjur bertelur di sarangnya, sarang tetap saja dipanen. Sarangnya tentu jadi duit, dan telurnya juga jadi uang. 

Yang lebih parah lagi, juga panen buang anak. Jika ternyata di sarangnya terlanjur ada piyik walet, tanpa ampun, sarang tetap disikatnya. Anak walet yang masih merah itu dikemanain? Jawabnya : dibuang di kolam untuk makanan ikan lele. Sungguh sadis bukan?  Saat itu  teman saya ini rupanya terlalu dikuasai oleh rupiah. 

Memang pada akhirnya, mereka  mengakui telah melakukan kesalahan dalam budidaya walet. Harusnya panen tidak boleh sembarangan. Harusnya panen tidak boleh memutus rantai produksi. Harusnya panen berdasar azas kelestarian populasi walet. Agar terjadi kesinambungan populasi walet. Penyesalan memang datangnya selalu belakangan.

Seperti diketahui, walet mulai masuk fase produksi pada usia  sekitar 7 sd 8 bulan. Pada usia awal produksi, sarang yang dibikin oleh walet itu  relatif masih kecil sesuai ukuran postur tubuhnya. Kenapa? Karena kemampuan berliurnya belum optimal. Maka,  walet muda lebih suka bersarang di sarang imitasi. Walet ini tak perlu banyak keluar liur, namun bisa langsung bertelur.  

Disinilah pentingnya pemasangan sarang imitasi. Ini untuk memberi kemudahan pada walet muda, yang kemampuan produksi liurnya belum optimal, namun diperutnya sudah tumbuh telur. Maka, kadang kita menjumpai ada telur di sarang imitasi, namun hanya sedikut liur. Itulah walet muda yang mulai masuk fase produksi. Seiring usia bertambah, semakin besar kemampuan produksi liurnya, semakin  besar pula ukuran sarangnya. 

Walet akan mulai tidak produktif lagi pada usia 6 sd 7 tahun. Tanda-tanda walet memasuki usia non produktif, yakni  ukuran sarangnya mulai mengecil atau bentuknya tidak utuh. Kenapa? Karena kemampuan berliurnya sudah mulai menurun. Dan juga, tidak ada lagi “persediaan telur” di perut induk walet itu.   Jadi, walet tua, bisa bikin sarang namun ukuran sarang kecil atau bentuknya tidak lagi sempurna. Juga, walet tua  masih bisa bikin sarang tapi sudah  tidak lagi bertelur.  

Pada walet yang sudah betul-betul tidak produktif, burung ini hanya buang kotoran saja, tak lagi berliur apalagi bertelur. Maka, kadang kita menjumpai, di satu titik lantai banyak terdapat kotoran yang menumpuk hingga tebal, tapi kala dilihat di papan sirip tepat di atas kotoran tadi,  tak  ada sarangnya, bahkan fondasi sarangpun tak tampak. Itulah walet tua yang tidak produktif lagi. Walet renta itu numpang tidur saja sambil menunggu ajal. 

Pada masa produktif,  dampak negatif dari pola panen sarang walet dengan cara rampasan, panen buang telur, atau bahkan panen buang piiyik, memang belum  begitu terasa. Pemiliknya tetap saja menikmati hasil panen dengan jumlah yang tetap banyak. Saat itu, belum terasa penyusutan produksi karena walet yang bersarang di gedung itu memang masih  produktif. 

Jadi, pemilik gedung tak merasa bahwa apa yang telah dilakukannya itu sebenarnya pola panen yang keliru. Saat itu dia mengira,  cara panen tersebut tak menimbulkan masalah. Dia mengira panen yang dilakukan aman-aman saja. Memang, selama beberapa  tahun itu   hasil panen sarangnya masih tetap melimpah. Rupiah terus mengalir deras.

Namun mulai  tahun ke 6 dan ke 7, walet mulai masuk masa non produktif. Jumlah sarang sudah mulai menurun. Hasil panen mulai perlahan berkurang.  Waktu terus berjalan.  Jumlah panen mulai menyusut.
 
“ Kenapa jumlah panennya menyusut, tak sebanyak panen sebelumnya?” tanya si pengepul langganan

“ Mungkin karena ini musim kemarau, jadi walet tak banyak bikin sarang..” jawabnya tanpa disadari bahwa itu awal karma menimpanya.

Usia walet di gedung itu semakin tua, kemampuan berliurnya semakin berkurang. Sementara,  tak ada lagi generasi walet baru. Sebab selama ini generasi walet baru tak diberi kesempatan untuk lahir dan tumbuh-kembang di gedung ini. 

Tentu ini pola budidaya walet yang keliru. Info yang keliru ini ditelan oleh salah seorang teman saya di Banjarmasin, yang kebetulan beragama Budha

“Budidaya walet ini sangat bertentangan dengan keyakinan agama saya”, katanya. Dia mengira, budidaya walet adalah budidaya yang mengeksploitiasi dan merugikan mahkluk hidup, yang menjadi pantangan besar dalam agamanya. Teman tadi takut, dengan pola budidaya walet seperti itu, pasti  karma akan menimpa dalam kehidupan pribadi maupun keluarganya. 

Namun setelah saya jelaskan tentang pola budidaya walet yang benar, akhirnya teman tadi bisa memahami, dan sekarang telah memiliki beberapa gedung walet yang produktif. 

Hidup-Lestari-Damai, adalah dambaan semua  makhluk  di muka bumi ini. Semoga hidup yang kita jalani ini jauh dari  keserakahan. Hidup hanya sekali dan mustinya penuh kedamaian. Hidup yang kita jalani jangan sampai merugikan orang lain, jangan juga memotong hak hidup makhluk yang lain. Ini ajaran semua agama, baik agama Ardhi maupun agama Samawi. Semoga budidaya walet kita tambah sukses untuk masa  mendatang.

sumber : http://duniawalet.com/




Artikel Terkait:



0 komentar:

Posting Komentar